Oleh Sukirno, S.Pd., Guru Swasta di Daerah Terpencil
Pernah penulis melihat di stasiun televisi ungkapan dari seorang motivator yang terkenal dalam acara Mario Teguh Golden Way dalam tema “Master Alasan”. Beliau mengatakan bahwa “Orang bodoh kalah dengan orang pintar, orang pintar kalah dengan orang nekat, orang nekat kalah dengan orang gila, dan orang gila kalah dengan orang beruntung.”
Ungkapan dari Mario Teguh tersebut nampaknya bisa menjadi pembenaran ketika seseorang memilih jalan hidup yang lebih pahit (paling tidak menurut dirinya, pen.) agar mendapat kemuliaan atau keberuntungan dengan menjadi guru di daerah terpencil. Kalaulah kemuliaan atau itu tidak didapat dari daerah yang lebih banyak memiliki fasilitas, daerah yang minim fasilitas pun diterjang.
Tulisan ini barangkali hanya merupakan pandangan orang kota yang melihat pendidikan daerah terpencil dan barangkali tidak berlaku bagi orang yang terbiasa hidup di daerah terpencil yang minim fasilitas. Sekadar berseloroh bagi orang kota yang bekerja di daerah terpencil, terutama di luar Jawa, bahwa di Jawa atau di kota terlalu banyak orang pintar dan orang yang beruntung sehingga mencari alternatif lain di mana persaingannya tidak terlalu berat.
Guru Daerah Terpencil, Alternatif Kedua
Seperti telah disampaikan pada awal tulisan ini bahwa untuk mencapai keberuntungan memang sangat berat dan kita perlu “gila” agar keberuntungan tersebut segera terwujud. Barangkali akan mudah bila berbagai akses (nepotisme) untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik seperti orang tua pejabat, saudara pejabat, koneksi pejabat yang memiliki pengaruh kita punyai.
Namun bila semua itu tidak kita miliki dan kita sebenarnya tidak terlalu bodoh maka akan celakalah kita. Keberuntungan tak segera kunjung datang, umpatan-umpatan yang menguras energy akan menekan kita. Apalagi hal tersebut ditambah bahwa ada teman kita yang boleh dikata tidak lebih pandai dari kita dan kebetulan memiliki koneksi yang kuat untuk mendapat pekerjaan yang lebih mudah.
Ugh, akan semakin sakitlah hati kita dan dengan umpatan-umpatan yang tidak bakalan sampai di tengah tulinya dan tertutupnya hati para pejabat-pejabat itu. “Saya tidak bodoh, cuma kurang beruntung,” kata kita dalam hati atau kalau menjawab pertanyaan dari teman-teman kita. Bahkan lebih menyakitkan, hanya sekadar untuk mencari pekerjaan sebagai pengabdi pendidikan (pegawai honorer) pun harus punya koneksi. “Ala mak, mau ke mana negeri ini, sekadar honor pun terjegal kalau orang tuaku atau saudara pun tak punya”.
Maka bertanyalah seorang calon guru kepada para seniornya yang sudah PNS. “Pergilah ke luar Jawa, ke Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, ataukah papua atau ke pulau-pulau terpencil dan terpelosok. Di sana mungkin tidak ada guru dan sangat membutuhkan guru,” katanya.
Melihat televisi atau di internet sang calon guru mencari-cari informasi mengenai pekerjaan yang ia dambakan hanya untuk sekedar mendengar dari murid atau orang-orang di sekelilingnya, “Selamat pagi Pak Guru” atau “Kemana Bu Guru”. Begitu melihat dan membaca informasi yang didapat, hanya kepedihan, kesunyisenyapan, dan penderitaan-penderitaan yang ada.
“Guru Terpencil di Daerah X Sekian Bulan Belum Terbayar”
“Guru Honorer akan Digusur Guru Bantu”
“Tidak Ada Pengangkatan Guru Honorer untuk PNS”
“Harus Menyebrang Sungai, Melewati Hutan”
“Sekolah Dinding Papan, dan Atap Ambruk”
“Apalagi Fasilitas, Buku Pun Susah Didapat”
“Daerah Terpencil, Tidak Ada Listrik, Padam Sepanjang Waktu”
“Bahan Pangan Mahal di Daerah Terpencil”
“Hanya Mie Instan dan Ikan Asin”
“Sekian Hari Kalau Normal Kekota Terdekat”
“Mengarungi Ombak dan Gelombang Menuju Pulau X”
“Perahu Penyeberangan Hanya 1 bulan sekali”
“Bergumul dengan Lumpur untuk Ke Kota”
“Di Daerah Terpencil X, Sinyal HP-pun sulit”
“Tidak Ada Rumah Dinas Guru”
“Tidak Naik Kelas, Guru Dilibas”
Sederet cerita sedih terngiang-ngiang dalam otaknya, hatinya semakin menciut. “Menjalani niat mulia saja kok susah. Haruskah saya menjadi guru di daerah terpencil?,” katanya dalam hati dan otak yang berkecamuk.
“Barangkali aku harus nekad, atau aku harus melupakan semua hingar bingarnya kota,” tekadnya dalam hati.
Menjaga Kenekadan dan Kegilaan
Hanya segelintir orang yang mau dan bisa hidup dalam dunia yang serba terbatas. Orang-orang inilah yang menjadi bahan bakar untuk terus menggodok anak-anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas. Dan mereka butuh terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismennya serta terus digelorakan semangatnya menghadapi tugasnya di daerah terpencil.
Dukungan baik material maupun non material perlu adanya kontinyuitas yang tidak terputus-putus dan fokus lebih besar ke dunia pendidikan di daerah terpencil. Political will dari pemerintah juga diperlukan untuk menyentuh nasib guru, siswa, sekolah, dan masyarakat untuk membangun kesadaran pada dunia pendidikaan.
Guru daerah terpencil butuh teman untuk sharing ditengah kesepian di pelosok ujung negeri. Pembangunan infrastruktur baik komunikasi maupun akses transportasi untuk memudahkan pengadaan fasilitas pendidikan maupun fasilitas hidup jangan hanya jadi jargon di saat Pilkada adau Pilkada, tetapi benar-benar diwujudkan.
Jajaran pemerintah Kementrian PDT, Kemdiknas, Depag dan berbagai instansi terkait dari pusat sampai daerah benar-benar bahu membahu terus meningkatkan taraf hidup masyarakat. DPR dari pusat sampai DPRD Kab/kota terus mendorong pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM di daerah terpencil.
Pihak swasta, perusahaan-perusahaan besar yang ada di daera terpencil juga bukan hanya menjadi penonton atas termarginalisasinya masyarakat akan pendididikan di daerahnya. Tidak hanya mengeruk hasil bumi atau mengeruk keuntungan di tengah-tengah kualitas SDM yang rendah karena kurangnya pendidikan. CSR (Corporate Sosial Responsibility) pendidikan terus digalakkan untuk memudahkan akses pendidikan mereka.
Tak kalah pentingnya, kepastian dan kemantapan hidup guru daerah terpencil juga perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh dengan patokan standar hidup yang layak di daerah terpencil. Kesejahteran guru, tidak hanya PNS, non PNS (honorer dan swasta) pun perlu mendapat perhatian, sehingga tidak hanya “nekad” dan “gila”, keberuntungan pun mereka dapatkan dari tujuan mereka hidup yang hakiki. Manusia mempunyai badan, dan itu harus diarifi dengan kebijaksanaan bukan didzalimi dengan minimnya kesejahteraan bagi mereka.
Menjaga kenekadan dan kegilaan mereka bukanlah hal gampang, salah-salah program yang tadinya bak orang bersolek nan cantik atau gagah rupawan bisa menjadi hantu yang menakutkan. Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini menjadi negeri ber-SDM bermental inlander dan dibodohi terus menerus dengan SDM yang rendah oleh kapitalis dan kultur global yang terus merangsek tanpa kendali.
Indonesia Mengajar
Sebuah program yang sudah kurang lebih dua tahun berjalan, Indonesia Mengajar diluncurkan, dikomandoi seorang intelektual dan rektor di Universitas Paramadina, Anies Baswedan. Idealismenya menjadikan sebuah gerakan kepedulian terhadap pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan di daerah terpencil. Mereka merekrut guru-guru dari berbagai disiplin ilmu dan dari berbagai perguruan tinggi ternama.
Sebagai seorang guru, penulis agak bernapas lega, ternyata dari segudang pendidik yang menumpuk di Jawa, ada segelintir orang yang memikirkan pendidikan di daerah terpencil. Dan tidak tanggung-tanggung mereka mensupport guru-guru tersebut dengan berbagai fasilitas yang menjadikan mereka nyaman di daerah terpencil.
Sebagai seorang guru di daerah terpencil, saya juga berharap ini bukan hanya program hangat-hangat tahi ayam, alias sekedar program hiburan di tengah disparitas kualitas pendidikan antara daerah terpencil yang minim fasilitas dengan daerah kota yang meluber fasilitas.
Gerakan Indonesia Mengajar benar-benar menjadi gerakan guru-guru yang “nekad” dan “gila” dengan kesadaran penuh untuk membangun SDM Indonesia. Mereka yang diterjunkan ke daerah-daerah terpencil bisa beradaptasi dan mendarah daging (penuh keikhlasan) dalam kehidupannya dan betah membangun generasi penerus bangsa.
Mereka butuh guru dan akses pendidikan yang berkualitas. Semangat…semangat …semangat… Barangkali hanya itulah yang bisa saya sampaikan atas perjuang mereka di daerah terpencil.
sejak awal 91 sampai sekarang, saya masih mengabdikan diri saya menjadi guru di kalimantan tengah, bahkan saya bertekad untuk tetap di sini. banyak cerita, kejadian, peristiwa yang tidak bisa ditulis dengan untaian kata. hanya hati dan keikhlasan yang bisa merasakan. oleh karena itu saya sangat berkinginan bahwa seorang mendiknas itu harus pernah menjadi guru di daerah terpencil, agar kebijakannya tidak pincang. agar peraturan-peraturannya tidak dijadikan sampah.
salam pendidikan dari kalimantan tengah
Makasih atas komennya, blog ini merupakan pemikiran kami sebagai ajang komunikasi bagi guru-guru di daerah terpencil yang terkadang terabaikan nasibnya. Barangkali ini menjadi titik awal kita untuk berbenah dengan pendidikan di daerah terpencil. Saya sepakat barangkali guru-guru perlu ada semacam pelatihan sebelum mereka terjun menjadi guru sejati, paling tidak mereka pernah mengalami mengajar di daerah terpencil biar mereka juga bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dan menjalani profesi yang mulia ini. Tetapi lagi-lagi otonomi daerah (Diknas dikelola Pemkab) dan political will dari pemerintah belum berpihak pada mereka yang ada di daerah terpencil. Dan hanya orang”nekad”dan “gila”aja yang sebenarnya perlu dipupuk dan dijaga biar pemerataan pendidikan dan akses pendidikan bagi mereka di daerah terpencil bisa meningkat. Salam juga dari kami di Kaltim.
pengeen sekali bsa jadi guru di tempat terpencil,,,tapi bagaimana caranya,,,apalagi kalau ga kuliah seperti saya apa bisa??
Di daerah terpencil yang susah dijangkau oleh pemerintah banyak membutuhkan, namun terkadang pemerintah masih menngedepankan ijazah. Sekadar jadi pengabdi atau relawan mungkin bisa, tapi kalau dijadikan pekerjaan perlu kesabaran dan pemerintah kayaknya masih mewajibkan baik guru SD, SMP maupun SMA memiliki ijazah S1 pendidikan. Untuk sekarang di daerah-daerah terpencil masih banyak pula yang menjadi guru hanya mengandalkan ijazah SMA, namun honor atau istilah di Jawa itu “mengabdi/wiyata bakti”, dan mereka diwajibkan untuk mengikuti program penyetaraan S1 pendidikan (Biasanya ikut Universitas Terbuka).