Oleh Syahdianto, Guru SMKN 1 Kusan Hilir
Setiap tahunnya penyelenggarakan Ujian Nasional (UN) menimbulkan polemik, sehingga pemerintah berusaha untuk menemukan formula baru agar UN mampu merepresentasikan evaluasi dan perkembangan tingkat pendidikan nasional.
Tetapi masih banyak pihak yang pesimis dan berasumsi bahwa standar kelulusan berdasarkan UN sifatnya cukup mustahil karena UN hanya memenuhi kemampuan kognitif (pengetahuan), sedangkan psikomotorik (ketrampilan) dan afektif (sikap) tidak diaplikasikan sebagai penentu kelulusan.
Belum lagi kurangnya pemerataan kualitas infrastruktur dan fasilitator pendidikan yang memunculkan suatu kesenjangan antara sekolah di daerah dengan di perkotaan.
Masih banyak sekolah terutama di daerah yang belum dilengkapi laboratorium dan perpustakaan. Kalau pemerintah memaksa memberlakukan standar kelulusan pukul rata, maka akan terus menimbulkan tekanan dan dilematis tak kunjung usai bagi aparat pendidikan di daerah.
Meskipun pada tahun ini ada perubahan sistem kelulusan, nilai sekolah (rapor) disertakan sebagai syarat kelulusan sebesar 40 persen, tetap saja tidak mengubah stigma kengerian UN.
Bahkan sampai sekarang kecurangan pelaksanaan UN belum bisa diminimalkan, mulai dari kebocoran soal, pengawas yang sengaja lalai melakukan tugasnya, dan guru-guru sekolah berusaha memberikan bantuan kepada siswanya untuk menjawab soal.
Akibat besarnya persentase standar kelulusan berasal dari UN, beberapa aparat sekolah khususnya di daerah rela berlawanan dengan nurani demi rasa iba terhadap siswa, menjaga nama baik sekolah, dan tidak yakin akan kemampuan siswanya dalam menghadapi UN.
Salah satu faktor penyebabnya adalah sarana dan prasarana untuk kelancaran proses belajar mengajar di sekolah terutama di daerah masih minim, tentu hal ini mengakibatkan dorongan bagi aparat sekolah untuk melakukan kecurangan demi kesuksesan nihil.
Maka pemerintah perlu melakukan pembenahan infrastruktur sekolah secara merata khususnya di daerah dan melakukan pengawasan terhadap anggaran pendidikan, agar teralokasi secara tepat, sehingga sekolah di desa sedikitnya mampu bersaing dengan sekolah di kota.
Sumber: banjarmasinpost.co.id