Oleh Prof. Suyanto, Ph.D.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta,
Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemdiknas
Konvoi hura-hura sepeda motor disertai aksi corat-coret seragam sekolah pasca-Ujian Nasional (UN) SMA/SMK/MA 2011 yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia cukup memprihatinkan.
Bagaimana tidak,UN yang baru saja usai seolah-olah dimaknai sebagai pencapaian puncak karier akademik mereka. Pakaian seragam yang semestinya masih baik digunakan dan masih layak disedekahkan ke siswa yang kurang mampu, dicorat-coret hanya untuk meluapkan kegembiraan yang emosional.Para pelajar sepertinya telah yakin bahwa mereka akan lulus UN dan oleh karena itu, mereka pantas merayakan kegembiraannya di jalan raya dengan cara-cara yang kurang terpuji.
Nilai-nilai moralitas yang diajarkan selama mengenyam pendidikan sirna hanya karena kegembiraan dan luapan emosi sesaat. Apakah persoalan tersebut menyangkut krisis identitas? Pakar psikologi,Grotevant dan Cooper (1998), menyatakan bahwa masa remaja adalah masa pencarian identitas di mana mereka sering kali mengembangkan identitas personal yang unik dan berbeda dengan orang lain.
Pencarian identitas pada masa tersebut menjadi lebih kuat sehingga mereka berusaha untuk mencari identitas dan mendefinisikan kembali siapakah mereka saat ini dan akan menjadi siapakah mereka di masa akan datang. Dalam konteks konvoi motor disertai corat-coret pakaian seragam pasca-UN,para pelajar sesungguhnya ingin menunjukkan siapa mereka sesung-guhnya, tetapi dengan cara yang keliru. Mereka tak peduli lagi apakah yang mereka lakukan mengganggu orang lain atau tidak, atau bahkan mencoreng nama baik sekolah mereka.
Yang ada di benak mereka adalah mereka telah lepas dari “cobaan” dan sekaligus menegaskan adagium yang direkayasa: “saya konvoi dan coratcoret, maka saya ada”. Dalam teks dan imaji budaya pop,pementasan sikap tidak terpuji ini dijadikan cara untuk mengomunikasikan pesan peringatan, ancaman,horor, identitas, dari suatu individu/kelompok ke individu/kelompok lainnya.
Tak jarang hal ini sengaja dipertontonkan sehingga menjadi semacam “horrortainment”, yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah pelakunya. Sikap-sikap tak terpuji ini dianggap sebagai hiburan untuk saluran eskapisme, katarsis, dan bahkan ritualisme. Kita sebagai orang tua harus waspada terhadap fenomena yang sesat ini.
Memfasilitasi
Dalam upaya membantu dan memfasilitasi siswa menemukan identitas dirinya, agar tidak mengarah pada perbuatan yang tercela,Woolfolk (1995) menyarankan empat hal. Pertama, berilah para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa. Kedua, membantu siswa untuk menemukan caracara untuk memecahkan masalah pribadinya. Ketiga, bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh, seperti dalam berpakaian sepanjang masih berada pada koridor kepantasan.
Keempat, memberi umpan balik yang realistis terhadap siswa tentang dirinya. Saat ini kita menghadapi arus globalisasi yang tak ada satu pun kekuatan mampu mencegahnya. Dalam kehidupan global, batas-batas negara, baik secara fisik-geografik maupun teritorial politik,menjadi tidak penting lagi. Justru faktor yang paling penting bagi eksistensi suatu bangsa adalah dikuasainya teknologi informasi.
Penguasaan teknologi informasi memerlukan kerja keras dan keunggulan kompetitif semua komponen bangsa, terutama para generasi penerus bangsa yang masih mengenyam pendidikan. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang pesat dalam dunia pendidikan. Beragam kreativitas dan inovasi yang dimiliki para pelajar sudah selayaknya difasilitasi untuk menciptakan karya dan prestasi yang monumental.
Para siswa juga akan berhadapan dengan dampak negatif globalisasi, antara lain pola hidup konsumtif, individualistis, gaya hidup penikmat teknologi semata, dan gaya hidup hedonistis. Ketika para siswa terjebak dalam pusaran negatif globalisasi, maka mereka hanya menjadi objek dari kepentingan, bukan sebagai subjek bagi arsitektur masa depan mereka. Atas dasar inilah,diperlukan konsep diri dan kesadaran diri akan perlunya memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif di masa yang akan datang.
Pendidikan Karakter
Di titik inilah, pendidikan karakter menjadi penting karena tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik,unggul,positif,terpuji.Sehingga, peserta didik menjadi lebih paham (domain kognitif), dapat merasakan (domain afektif); dan mampu melaksanakannya (domain psikomotoris) hal-hal yang baik, positif, dan terpuji itu.
Meski demikian,hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana kita menyusun dan mensistematisasikan pendidikan karakter ini melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal di tengah-tengah globalisasi yang semakin merasuki relung kehidupan para siswa kita.
Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, terarah, dan terprogram, maka nilainilai ketakwaan, kejujuran, sportivitas, keberanian, kedisiplinan, saling menghormati dan menghargai orang lain, simpati,empati,dan sejenisnya menjadi sesuatu yang menyatu dalam diri peserta didik sejak mereka mengenyam pendidikan dasar.
Setiap guru sudah seharusnya memasukkan nilainilai pendidikan karakter ke dalam semua bidang studi pelajaran. Sementara itu, pimpinan sekolah sudah selayaknya mendukung program tersebut dengan menyiapkan fasilitas pendukung yang memadai. Mengapa demikian?
Karena, guru dan institusi sekolah adalah dua subjek yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan seirama dan saling mendukung, jika tidak, maka tujuan yang hendak dicapai sukar untuk diraih. Jika pendidikan karakter dapat diimplementasikan ke semua mata pelajaran, maka aksi konvoi hura-hura dan aksi corat-coret seragam sekolah pasca-UN tidak lagi menjadi ritual pelajar.
Sumber: seputar-indonesia.co.id
kejadian seperti ini rupanya bukan saja terjadi diperkotaan, di daerah kami pun demikian juga adanya.
mohon izin numpang info lomba untuk rekan guru ipa sma dalam science educatiaon award http://budies.wordpress.com/2011/04/21/saatnya-membagi-inspirasi/
Makasih atas kunjungannya. Silahkan, Pak. Blog ini memang sebagai ajang komunikasi rekan-rekan guru di mana pun, semoga bermanfaat.