Ilustrasi
Swarapendidikan.com Sragen- Kecerdasan tidak dapat menjamin seseorang dapat merajut pendidikan dengan mulus.Inilah yang dialami Ria Mariana,17, siswa SMK Negeri 1 Sragen, Jurusan Akuntansi yang nilai ujian nasionalnya (UN) tercatat tertinggi se-Jateng.
Bahkan masuk 10 besar nasional. Sebelumnya,Ria merasa waswas tak lulus UN karena harus mengikutinya dalam kondisi sakit.Sayangnya, dengan prestasi itu,gadis kelahiran Sragen,14 Maret 1994 tersebut justru kebingungan mau melanjutkan kuliah ke mana.Penyebabnya, tak lain masalah biaya. Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah kejuruan (SMK),prestasi Ria memang sudah menonjol di antara teman-temannya.Bungsu dari tiga bersaudara ini selalu masuk tiga besar di kelas. Meski begitu, dia tetap mengaku kaget saat mengetahui nilai UN-nya menjadi yang tertinggi di Jawa Tengah.
“Tidak pernah kepikiran dapat nilai tertinggi, malah sempat waswas tidak lulus.Karena persiapannya hanya sebisa mungkin belajar saat ada waktu luang,dan penambahan materi dari sekolah,” ungkap Ria saat ditemui SINDO di rumahnya di RT 04 Kelurahan Mojomulyo, Kecamatan Sragen Kulon,Kabupaten Sragen, kemarin. Rasa waswas Ria cukup beralasan karena selain tidak ada persiapan khusus, saat UN dia dalam keadaan sakit. Saat mengerjakan soal, dia harus diantar bolak-balik ke kamar kecil oleh pengawas karena sering muntah. “Pengawas sebenarnya membolehkan saya untuk mengerjakan soal di ruang UKS, tapi saya tidak mau karena lebih nyaman bareng-bareng sama teman-teman di kelas,”paparnya.
Sejak kecil Ria memang sering sakit-sakitan.Dari riwayat kesehatannya, Ria sempat mengalami lumpuh sejak usia 1–9 tahun.Keterbatasannya itu tak memadamkan semangatnya bersekolah meski harus menggunakan kursi roda.Keinginan kuat bersekolah itu berawal dari pertanyaan sederhana dari teman mainnya waktu kecil yang sudah bersekolah di taman kanak-kanak (TK). “Teman saya itu nanya, ini huruf apa? Saya tidak bisa menjawab karena saat itu belum sekolah. Akhirnya saya minta ke ibu agar bisa disekolahkan karena ingin bisa membaca,”ungkap Ria. Ceritanya itu dibenarkan oleh ibunya,Tumini.Keinginan Ria bersekolah memang tinggi.
Sang bunda pun akhirnya menuruti keinginan buah hatinya meski penghasilannya dan suami yang saat itu bekerja sebagai penjaga sekolah tergolong kecil. “Ayahnya waktu itu yang mengantar tiap pagi ke sekolah dengan sepeda yang di bagian belakangnya dikasih semacam kursi,”katanya. Kini Ria sangat bersyukur karena akhirnya sudah merampungkan sekolahnya sehingga bisa segera mencari kerja dan membantu ibunya. Apalagi nilai yang didapatnya tergolong tinggi. Dari empat mata pelajaran yang diujikan, nilai rata-ratanya sembilan.Nilai yang didapatnya itu membawanya masuk sepuluh besar nasional. Meski mendapat nilai tertinggi dan sangat ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,Ria tampaknya harus memendam keinginannya itu karena ketiadaan biaya.
Di samping itu, dia harus membantu ibunya berkeliling berjualan kerajinan tangan. Sejak ayahnya, Paulus Ismanto, meninggal karena kecelakaan saat Ria duduk di kelas 6 SD,praktis Tuminilahyangmenjadi tulang punggung keluarga. Dengan penghasilan tak tentu, Tumini berkeliling Sragen, Karanganyar hingga Solo demi membiayai kebutuhan hidup keluarga dan sekolah Ria.
“Penginnya meneruskan kuliah,tapi mau bagaimana lagi, tidak ada biaya.Kasihan ibu. Maka secepatnya saya ingin segera bekerja,”ucapnya. Melihat kemauan keras dari Ria, semoga Anda yang terketuk hatinya membantunya menggapai cita-cita. Jangan sampai anggapan orang miskin tak bisa bersekolah menjadi kenyataan di negeri ini.
Sumber: seputar-indonesia.com