Ilustrasi
Swarapendidikan.com Jakarta- Anak masa kini memang memiliki pemahaman yang jauh berbeda dengan anak-anak sepuluh tahun lalu. Saat ini anak lebih bebas menyampaikan keinginan atau pendapatnya mengenai rencana pendidikan dirinya sendiri.
Demikian dikatakan psikolog Eileen Rachman di kantornya di Jakarta, Rabu (27/4/2011) pekan lalu. Menurut Eileen, hal itu bukan tanpa masalah. Banyak hal tidak pernah terpikirkan oleh orangtua ketika anak menentukan jurusan pendidikannya sendiri. Terlebih, jika keinginan anak sama sekali bertentangan dengan yang diinginkan orangtua.
Menurut dia, anak dapat melihat dirinya sendiri berdasarkan pengalaman dan pendidikan karakter yang dibangun orangtuanya. Di sinilah anak belajar mengenal perbedaan aturan, nilai, dan harapan yang dapatkan di lingkungan rumahnya.
“Karena itulah orangtua juga tidak boleh terlalu dominan pada anaknya. Sebagian kepekaan anak mulai terlatih dari harapan yang didapatkannya di rumah,” ujar Eileen.
“Yang terpenting adalah di dalam rumah harus ada nilai. Saat ini masih banyak orangtua yang menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri, dengan alasan pegawai negeri itu nanti dapat uang pensiun dan lain-lain. Faktanya memang seperti itu. Namun, orangtua juga harus menghargai keinginan anaknya,” kata wanita kelahiran Bukittinggi, 3 Juli 1950, ini melanjutkan.
Eileen mengatakan, agar anak memiliki pemahaman yang sama mengenai pendidikan memang dibutuhkan kesabaran orangtua. Tidak susah, kata dia, tetapi juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Salah satu cara yang paling mudah dilakukan orangtua adalah mengubah gaya kepemimpinannya. Dengan cara itu anak dapat menganalisa dirinya sendiri tentang apa yang ia butuhkan.
“Ada anak yang sampai lulus SMA masih jadi penurut, ada yang tidak. Ada yang rebellious karena dia tahu, ada yang rebellious karena tak tahu apa yang dia mau. Nah, kalau seperti ini, sebaiknya pandangan dan pemikiran anak dibangun untuk tahu apa yang dia mau,” lanjut Eileen.
Ia menambahkan, orangtua yang banyak menasihati hal-hal terbaik tetapi tidak melakukannya hanya akan membuat penghargaan anak terhadap orangtua berkurang. Menurut Eileen, nasihat tak perlu diberikan secara terus-menerus. Orangtua cukup memberikan contoh-contoh yang baik ketika anak sedang berada di rumah.
“Intinya, tunjukkan kebiasaan yang baik dari orangtua. Kebiasaan yang baik itu menyangkut masalah tanggung jawab, kedisiplinan, masalah sosial, dan lain-lain. Itulah yang harus dilatih kepada anak agar perbedaan pemahaman antarkeduanya dapat diselesaikan secara baik,” tukasnya.
Jangan Paksa
Seringkali orang tua memandang peranannya bagi anak sebagai hal mutlak. Di sini, artinya, orang tua adalah faktor penentu karena anak harus sekolah dan tinggal menurut saja perkataan orang tua. Padahal, jika hal tersebut tidak dipikirkan dengan baik, anaklah yang kelak menjadi korban.
Pakar pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu mengatakan, dalam memutuskan pilihan untuk anak, ada baiknya tidak melalui paksaan. Menurutnya, sesuatu yang dipaksakan pada akhirnya akan mendatangkan akibat kurang baik, termasuk dalam menentukan pilihan pendidikan bagi anak.
“Kita dapat menengok kasus-kasus yang terjadi di perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang akhirnya mengeluh tentang kesulitan disiplin ilmu yang ia pelajari karena pada dasarnya mereka tidak suka dan tidak sesuai dengan bakat dan keterampilannya karena hanya menuruti keinginan orang tua,” ujar Henny kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (27/4/2011) pekan lalu.
Henny menuturkan, terkadang orang tua belajar dari pengalamannya sendiri dalam menyekolahkan anaknya. Ia mencontohkan, orang tua yang sukses di bidang wirausaha cenderung mengarahkan anaknya untuk sekolah yang berhubungan dengan perekonomian. Contoh lain, orangtua yang bergelar insinyur dan sukses akan mengarahkan anaknya untuk sekolah di jurusan teknik, dan sebagainya.
“Itu mungkin benar. Namun perlu disadari, bahwa pada akhirnya, kelak anak sendirilah yang akan menentukan masa depannya, karena mereka sendiri yang menjalani itu. Maka, yang terbaik adalah orang tua jangan memaksa, bersikaplah demokratis terhadap anak,” jelasnya.
Namun, lanjut Henny, hal itu bukan berarti orang tua menyerahkan sepenuhnya keinginan anak untuk menentukan pilihannya. Orang tua harus tetap mempertimbangkan pilihan anak. Setelah itu, orang tua juga harus dapat menjelaskan kelebihan dan kekurangan atas pilihan mereka.
“Ini menyangkut masa depan anak, kan? Karena kita lihat sekarang, banyak yang kesulitan memasuki bidang kerja karena ijazahnya tidak sesuai,” kata ibu dua anak ini.
Sumber: kompas.com