Ilustrasi
swarapendidikan.com Kulonprogo- Moratorium atau penghentian rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) menimbulkan krisis jumlah PNS di Kabupaten Kulonprogo. Jalannya roda pemerintahan juga akan terganggu.
Di sektor tenaga guru, kekurangan semakin guru semakin banyak, khususnya tenaga pengajar SD.Pemkab pun mewacanakan guru SMP dan SMA dimutasi menjadi guru SD. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Kulonprogo Djulistya mengatakan, saat ini Kulonprogo mengalami kekurangan guru SD yang sangat banyak.
Namun, untuk guru SMP dan SMA, secara matematis mengalami kelebihan. ”Karena ada moratorium, maka kita sedang menggagas untuk mengonversi dari guru SMP dan SMA menjadi guru SD.Kita kekurangan guru SD, tetapi kita kelebihan guru SMP-SMA,”katanya kemarin.
Kulonprogo mengalami kekurangan guru SD sebanyak 155 orang, termasuk 20 kepala SD yang kosong.Berbeda dengan jenjang SMP dan SMA,yang justru mengalami kelebihan guru mencapai ratusan orang. ”Kebetulan sekali, kelebihan jumlah guru bidang studi tersebut adalah pada bidang studi yang selama ini sangat dibutuhkan untuk peningkatan bidang studi tertentu. Misalnya bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA,” ungkapnya.
Djulistya menginformasikan bahwa gagasan konversi guru ini sudah disampaikan ke Pemkab Kulonprogo. Saat ini BKD Kulonprogo sedang melayangkan surat kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN) yang isinya meminta izin melakukan konversi guru SMP atau SLTA dimutasi menjadi guru SD.
Jika konversi disetujui, BKD juga meminta izin melakukan secara crass program atau pendidikan kilat (diklat) bagi guru yang akan dikonversi itu. Pada prinsipnya, sekarang ini guru seharusnya sarjana.Tidak ada perbedaan strata sosial maupun strata pangkat bagi guru SD, guru SMP atau SMA. ”Dari kesamaan strata itulah mengemuka gagasan konversi dari guru SMP atau SMA menjadi guru SD,” tandasnya.
Djulistya menegaskan, gagasan konversi ini menguntungkan bagi guru yang bersangkutan. Saat yang bersangkutan tetap mengajar di sekolah lanjutan, maka tidak akan dapat memperoleh jam mengajar yang maksimal. ”Ini juga bisa dikatakan sebagai pengangguran tidak kentara di lingkungan Dinas Pendidikan.Padahal seharusnya guru itu bisa mengajar 24 jam saat mengajar di SD. Guru yang bersangkutan juga layak diajukan mendapatkan sertifikasi,” katanya.
Sejumlah guru SMP-SMA mengomentari gagasan konversi tersebut dengan pro dan kontra. Mereka yang tidak sepakat, salah satunya disebabkan unsur prestise,mengajar di SMP atau SMA lebih membanggakan dibanding mengajar di SD. ”Kalau ditanya bangga mana menjadi guru SMP atau guru SD, jelas jawabannya guru SMP,” kata Wijanarko,guru SMP swasta di Kulonprogo.
Jika konversi tetap dilakukan, sebaiknya diperuntukkan bagi guru SMP atau SMA yang belum memiliki sertifikasi. ”Kalau yang sudah bersertifikasi, sayang sekali,”katanya. ridwan anshori